BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dinamika kehidupan
manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Adakalanya
senang, susah, gembira, sedih, aman, takut, tenang, khawatir, dan seterusnya.
Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah),
sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang
membawa misi kemaslahatan universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam tidak
melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam
memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan
memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit.
Terbukti, dalam
kaidah fiqhiyah yang ketiga ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang
dialami seorang muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial
(muamalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang
dibebankan kepadanya. Bila seorang muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban
mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta
kemudahan-kemudahannya.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Qaidah Masyaqqah
2. Apa Kegunaan dari
Masyaqqah
3. Bagaima tata cara
melakukan dari Qaidah Masyaqah
BAB
II
PEMBAHASAN
QA’IDAH FIQHIYYAH KETIGA
A. Qaidah Dan Sumber Hukum
Qaidah
ini merupakan dasar penting dari sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i
didasari oleh kaidah ini, selain menjadi qaidah fiqhiyah, Qaidaah ini juga menjadi qaidah ushuliyah
al-ammah. Bahakan menjadi qaidah yang memiliki sifat qath’iy, karena
dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan tumpunya sangat sempurna.
Menurut Al-Syatibi, dalil dalil tentang dispensasi (menghilangkan kesulitan)
sudah mencapai tangkat qath’iy. Qaidah ini mengintrepasi hukum-hukum yang
berpihak kepada kemudahan dan kemurahan.
Karena sesungguhnya syariah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu
diluar kemampuannya, dan untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya pada
kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati nuraninya .
kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasae dari “ pemilik syariah yang
bijaksana” dalam memberlakkukan syariah islam.
Dalil - dalil yang
menjadi penopang qaidah ini beserta cabang-cabangnya adalah ayat dan hadist
berikut ini :
يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمالْعُسْرُ َ
“ Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu’’.
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
‘’ Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam
agama suatu kesempitan’’
Ayat – ayat
tersebut saling melengkapi dan menguatkan untuk menunjukan bukti-bukti konkrit
bahwa syariat Islam senantiasa menghilangkan kesulitan umatnya. Hukum-
hukum syar’i tidak akan pernah didapati suatu tuntutan
yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Seluruh amal ibadah, bik yang
berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua
itu sudah sesuai (ukuran) dengan kadar kemampuan mukallaf.
B.
Pengertian Qa’idah
Al masyaqqah dari segi bahasa adalah
kesusah payahan dan kesukaran. (QS An nahl:7), tidak mampu melakukan kecuali
mengalami kepayahan dan kesukaran pada dirinya. Bisa juga berarti: susah payah,
beban sempit, kesulitan, berat dan kesukaran.
Maksud Al masyaqqah dalam qaidah ini adalah
kesulitan yang bisa menghilangkan tuntutan syar’i (taklifat al-syar’iyah), tetapi
tidak bisa untuk menghilangkan tuntutan syar’i yang seperti: kesukaran
dalam jihad, berat menerima had, dan sakit ketika di rajam bagi pezina, maka
semua itu tidak berpengaruh dalam meringankan hukum syar’i.
Maksud dari Al taisir
dari segi bahasa adalah: kemudahan, kelenturan. Dari pengertian secara bahasa
tersebut bisa dipahami bahwa kesulitan dan kesukaran bisa menjadi sebab
kemudahan.
Secara terminologi syar’i adalah “hukum-hukum yang
menimbulkan kesusahan atas mukallaf yaitu kesulitan pada diri dan hartanya maka
syariah meringankannya dengan cukup melakukan sesuatu yang berada dalam
kemampuannya”
Seluruh kemudahan yang diberikan oleh syar’i berdasarkan
qaidah pokok ini. Kemudahan tersebut para ulama fiqh disebut rukhsah. “Rukhsah
secara bahasa adalah keluasan dan kemudahan, menurut istilah ulama fiqh adalah
Hukum yang telah ditetapkan pemeberlakuannya untuk merespon
kesulitan-kesulitan, dalam rangka meleluasakan serta memudahkan kondisi yang
sebelumnya dalam keadaan sempit dan sulit”.
Al masyaqqah bisa timbul dari sebab
tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok (al hajat). “Al hajat adalah
sampainya seseorang pada kondisi yang sekiranya tidak terpenuhi (apa yang
dibutuhkan), maka tidak menimbuklan kerusakan, namun menyebabkan kepayahan atau
kesulitan yang berat”.
Bila kebutuhan pokok tidak terpenuhi disebut Musyaqqah,
dan bila kebutuhan darurat tidak terpenuhi disebut dlarar. Musyaqqah mengakibatkan
kesulitan, kepayahan, keberatan, kesukaran dan ketidakleluasaan, sedangkan Dlarar
mengakibatkan kerusakan, kematian.
Kaitannya dengan ibadah,
Masyaqqah dibagi menjadi dua:
1. Masyaqqah yang melekat
pada ibadah, Ibadah yang dilaksanakan tidak jarang
mendatangkan masyaqqah, misal: kepayahan akibat dingin saat wudlu dan mandi
wajib, puasa siang hari yang panjang dan panas, perjalanan haji dan jihad,
kesakitan karena menerima hukuman had atau rajam, dan lain-lain.
Msyaqqah-masyaqqah tersebut meskipun sangat berat akan tetapi tidak bisa
menyebabkan keringan, dan tidak bisa menghilangkan kewajiban ibadah.
2. Masyaqqah diluar ibadah,
yaitu
Masyaqqah yang disebabkan oleh faktor lain yang mengakibatkan seseorang merasa
berat melaksanakan ibadah. Misalnya masyaqqah yang berupa sakit pada kaki, maka
berat melakukan shalat dalam keadaan berdiri.
Masyaqqah diluar ibadah
ini dibagi 3:
1. Masyaqqah adzimah, adalah masyaqqah yang
dirasa amat berat, yang dikhawatirkan akan merusak jiwa, anggota tubuh atau
menghilangkan fungsi anggota tubuh. Kesulitan atau kepayahan ysng demikian
disamakan dengan al dlarirat dan berhak mendapatkan rukhsah. Tidak boleh
memaksakan melakukan aktivitas ibadah, yang menyebabkan seseorang tidak mampu
sama sekali pada ibadah-ibadah yang setingkat atau bahkan diatasnya. Misalnya:
memaksakan menggunakan air untuk berwudlu, padahal jika menggiunakan air maka
tangan dan kakinya akan hilang/rusak fungsinya, maka haram baginya menggunakan
air dan ia harus mengganti dengan tayammum.
2. Masyaqqah khafifah, kesulitan ringan yang biasa
di alami setiap orang. Misalnya, sedikit pusing, capek ringan, dan lainnya.
Masyaqqah semacam ini tidak mendapatkan keringanan/rukhsah.
3. Masyaqqah mutawasithah, yaitu
yang berada diantara masyaqqah diatas masyaqqah yang mendekati adzimah maka
bisa mendapatkan rukhsah, jika mendekati khafifah maka tidak bisa
mendapatkan rukhsah.
C. Aplikasi Qaidah
Maksud dari qaidah ini adalah kesulitan yang tidak
ditimbulkan oleh tuntutan syar’i (Masyaqqah jenis ke2).
Kesulitan atau kepayahan yang dimaksud syar’i, selalu ada
pada 7 hal berikut. Sehingga 7 hal ini pula yang berhak mendapatkan
keringan/rukhsah.
Abdurrahman as-Suyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya
menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan yaitu:
a. Karena Safar (Bepergian)
Menurut Imam Nawawi,kesulitan ini menjadikann8
macam keringanan yaitu:boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa. Boleh
memakai muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan jum’at, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan
kendaraan ternak dan kebolehan bertayamum.
b. Karena Marodi (sakit)
Misalnya kebolehan bertayamum, duduk ketika
shalat dan khutbahyang semula di wajibkan berdiri,menjamak dua rakaat, meninggalkanshalat
jum’at, berbuka puasa dengan membayar fidya atau memberi makan fakir orang
miskin, berobat dengan beda najis, kebolehan melihat auratnya.
c. Karena Ikrah (Terpaksa atau Dipaksa)
Misalnya memakan bangkai atau makanan
haram,menggucapkan kekafiran dengan meneguhkan hati.
Ikrahan ghairu mulji, adalah paksaan yang
menggunakan cara lebih ringan dari yang telah disebutkan diatas dan hanya
mengakibatkan kesedihan dan keprihatinan saja.
Dua jenis paksaan tersebut bisa terjadi pada akad,
pengguguran akad dan pada larangan. Akad dan penggugurannya kadangkala sah
dengan bercanda. Sementara ada larangan yang dibolehkan dan ada kalanya tetap
tidak diperbolehkan.
1. Contoh akad dan penggugurannya tidak sah dengan
bercanda adalah akad jual beli, ijarah, gadai, hibah, ikrar dan pembebasan
tanggungan. Jika seseorang dipaksa melakukan akad-akad tersebut dengan paksaan
ilja (paksaan dengan ancaman) atau dengan paksaan ghairu ilja dan kemudian
orang itu melakukannya, maka jika paksaan itu hilang ia berhak memilih antara
meneruskan akad atau membatalkannya.
d. Karena Nisyam (lupa)
Bila seseorang lupa maka ia terbebas dari
dosa,misalnya minum waktu puasa ramadhan,lupa mengerjakan shalat lalu ia
teringat dan melakukannya di luar waktunya,lupa berbicara dalam shalat padahal
belum melakukan salam.
e. Karena JahL
(Bodoh)
Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti
bahwa bangkai itu di haramkan.Termasuk juga tergolong orang yang idiot.
f. Karena Usrun
Umumul Balwa (Kesulitan)
Misalnya kebolehan istinja’ dengan
batu,kebolehan memakai sutra bagi laki-laki yang sakit,jual beli dengan akad
salam,adanya khiyar dalam jual beli dah shalat dengan najis yang sulit di
hilangkan.
g. Karena Naqsh (Kekurangan)
Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap
bulanya maka diperingatkan untuk tidak mengikuti jum’at.karena jum’at membutuhkan
waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi jum’at itu datang bulan.
7. Bentuk-bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis Salam
menyatakan bahwa bentuk - bentuk keringanan dalam kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:
a. Tahfitul Isqoth,(meringankan
dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at.ibadah
haji dan umrah serta jihad ada uzur.
b. Tahfitul Tanqish
(meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya mengqashar shalat dari 4 raka’at
menjadi 2 raka’at.
c. Tahfitul Ibdal
(meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan
tayamum,mengganti berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat.
d. Tahfitul Taqdim
(meringankan dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim,yakni shalat ashar
dilakukan shalat zuhur,mendahulukan zakat sebelum setahun mendahulukan zakat
fitrah sebelum akhir ramadhan.
e. Tahfitul Ta’khir (meringankan dengan mengakhirkan waktu)
Misalnya jamak takhir,yakni shalat zuhur dapat di
lakukan pada waktu shalat ashar,mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian
dan yang sakit.
f. Tahfatul Tarkhsih
(meringankan dengan kemurahan)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr
untuk keperluan berobat.
BAB
III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Konsep setiap kesulitan membawa kepada
kemudahan, bukanlah suatau kaedah yang umum dala arti berlaku dan dipakai
untuk semua masyaqqah. Seperti halnya dengan kaedah-kaedah fiqhiyah lainnya. Ia
dipakai dalam beberapa persoalan tertentu. Oleh karena itu masyaqqah yang ada
nashnya sebagai sebab keringanan, boleh diamalkan.
Sedangkan yang ada nash syara’ sebagai sebab
keringanan, hendaklah dilaksanakan walaupun masyaqqah tidak terwujud secara
nyata. Karena masyaqqah itu merupakan suatu hal yang maknawi dan sering
berubah-ubah sesuai dengan kondisi individu, waktu dan tempat. Boleh jadi
sesuatu itu dianggap masyaqqah bagi seseorang, tetapi bukan masyaqqah bagi yang
lain. Seorang pengembara yang terbiasa hidup di padang pasir, tidak merasa ada
kesulitan untuk melakukan ibadah puasa tepat pada waktunya, tetapi hal itu
tentu akan berbeda dengan yang lainnya.
Dalam banyak hal masyaqqah ditentukan dengan
adanya “illat atau sifatnya saja sebagai asas bagi adanya takhfif, tanpa
melihat kepada hakekat masyaqqah yang abstrak itu. Perjalanan menjadi sebab
adanya takhfif, karena menurut adatnya ada musyaqqah, demikian juga dengan
sakit sebagai dasar takhfif, karena menurut kebiasaannya membawa kemudaratan
dan kesusahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar