Rabu, 27 Maret 2013

raf'ul kharaj







BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Adakalanya senang, susah, gembira, sedih, aman, takut, tenang, khawatir, dan seterusnya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah), sehingga tak dapat terelakkan dalam keseharian setiap insan. Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan universal (rahmatan lil ‘alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi kaum muslimin dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit.
Terbukti, dalam kaidah fiqhiyah yang ketiga ini ditegaskan bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami seorang muslim, baik dalam konstruksi ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah), akan mendorong diterapkannya kemudahan hukum pada obyek yang dibebankan kepadanya. Bila seorang muslim dalam menjalankan sebuah kewajiban mengalami kendala, maka di titik inilah Islam memberikan toleransi serta kemudahan-kemudahannya.
Rumusan Masalah
1. Apa itu Qaidah Masyaqqah
2. Apa Kegunaan dari Masyaqqah
3. Bagaima tata cara melakukan dari Qaidah Masyaqah


BAB II
PEMBAHASAN

QA’IDAH FIQHIYYAH KETIGA
A. Qaidah Dan Sumber Hukum
            Qaidah ini merupakan dasar penting dari sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i didasari oleh kaidah ini, selain menjadi qaidah fiqhiyah,  Qaidaah ini juga menjadi qaidah ushuliyah al-ammah. Bahakan menjadi qaidah yang memiliki sifat qath’iy, karena dalil-dalil yang mendasari dan menjadi landasan tumpunya sangat sempurna. Menurut Al-Syatibi, dalil dalil tentang dispensasi (menghilangkan kesulitan) sudah mencapai tangkat qath’iy. Qaidah ini mengintrepasi hukum-hukum yang berpihak kepada kemudahan  dan kemurahan. Karena sesungguhnya syariah tidak menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu diluar kemampuannya, dan untuk melakukan sesuatu yang menjatuhkannya pada kesulitan, atau sesuatu yang tidak sesuai dengan karakter dan hati nuraninya . kemudahan dan keringanan adalah tujuan dasae dari “ pemilik syariah yang bijaksana” dalam memberlakkukan syariah islam.
Dalil - dalil yang menjadi penopang qaidah ini beserta cabang-cabangnya adalah ayat dan hadist berikut ini :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمالْعُسْرُ  َ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu’’.
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
‘’ Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan’’
Ayat – ayat tersebut saling melengkapi dan menguatkan untuk menunjukan bukti-bukti konkrit bahwa syariat Islam senantiasa menghilangkan kesulitan umatnya. Hukum- hukum  syar’i  tidak akan pernah didapati suatu tuntutan yang melewati batas kemampuan hamba-Nya. Seluruh amal ibadah, bik yang berhubungan dengan anggota tubuh, tidak dibebankan oleh Allah, kecuali semua itu sudah sesuai (ukuran) dengan kadar kemampuan mukallaf.
 B.  Pengertian Qa’idah
Al masyaqqah dari segi bahasa adalah kesusah payahan dan kesukaran. (QS An nahl:7), tidak mampu melakukan kecuali mengalami kepayahan dan kesukaran pada dirinya. Bisa juga berarti: susah payah, beban sempit, kesulitan, berat dan kesukaran.
Maksud Al masyaqqah dalam qaidah ini adalah kesulitan yang bisa menghilangkan tuntutan syar’i (taklifat al-syar’iyah), tetapi  tidak bisa untuk menghilangkan tuntutan syar’i  yang seperti: kesukaran dalam jihad, berat menerima had, dan sakit ketika di rajam bagi pezina, maka semua itu tidak berpengaruh dalam meringankan hukum syar’i.
Maksud dari Al taisir dari segi bahasa adalah: kemudahan, kelenturan. Dari pengertian secara bahasa tersebut bisa dipahami bahwa kesulitan dan kesukaran bisa menjadi sebab kemudahan.
Secara terminologi syar’i adalah “hukum-hukum yang menimbulkan kesusahan atas mukallaf yaitu kesulitan pada diri dan hartanya maka syariah meringankannya dengan cukup melakukan sesuatu yang berada dalam kemampuannya”  
Seluruh kemudahan yang diberikan oleh syar’i berdasarkan qaidah pokok ini. Kemudahan tersebut para ulama fiqh disebut rukhsah. “Rukhsah secara bahasa adalah keluasan dan kemudahan, menurut istilah ulama fiqh adalah Hukum yang telah ditetapkan pemeberlakuannya untuk merespon kesulitan-kesulitan, dalam rangka meleluasakan serta memudahkan kondisi yang sebelumnya dalam keadaan sempit dan sulit”.
Al masyaqqah bisa timbul dari sebab tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok (al hajat). “Al hajat adalah sampainya seseorang pada kondisi yang sekiranya tidak terpenuhi (apa yang dibutuhkan), maka tidak menimbuklan kerusakan, namun menyebabkan kepayahan atau kesulitan yang berat”.
Bila kebutuhan pokok tidak terpenuhi disebut Musyaqqah, dan bila kebutuhan darurat tidak terpenuhi disebut dlarar. Musyaqqah  mengakibatkan kesulitan, kepayahan, keberatan, kesukaran dan ketidakleluasaan, sedangkan Dlarar mengakibatkan kerusakan, kematian.
Kaitannya dengan ibadah, Masyaqqah dibagi menjadi dua:
1. Masyaqqah yang melekat pada ibadah, Ibadah yang dilaksanakan tidak jarang mendatangkan masyaqqah, misal: kepayahan akibat dingin saat wudlu dan mandi wajib, puasa siang hari yang panjang dan panas, perjalanan haji dan jihad, kesakitan karena menerima hukuman had atau rajam, dan lain-lain. Msyaqqah-masyaqqah tersebut meskipun sangat berat akan tetapi tidak bisa menyebabkan keringan, dan tidak bisa menghilangkan kewajiban ibadah.
2. Masyaqqah diluar ibadah, yaitu Masyaqqah yang disebabkan oleh faktor lain yang mengakibatkan seseorang merasa berat melaksanakan ibadah. Misalnya masyaqqah yang berupa sakit pada kaki, maka berat melakukan shalat dalam keadaan berdiri.
Masyaqqah diluar ibadah ini dibagi 3:
1. Masyaqqah adzimah, adalah masyaqqah yang dirasa amat berat, yang dikhawatirkan akan merusak jiwa, anggota tubuh atau menghilangkan fungsi anggota tubuh. Kesulitan atau kepayahan ysng demikian disamakan dengan al dlarirat dan berhak mendapatkan rukhsah. Tidak boleh memaksakan melakukan aktivitas ibadah, yang menyebabkan seseorang tidak mampu sama sekali pada ibadah-ibadah yang setingkat atau bahkan diatasnya. Misalnya: memaksakan menggunakan air untuk berwudlu, padahal jika menggiunakan air maka tangan dan kakinya akan hilang/rusak fungsinya, maka haram baginya menggunakan air dan ia harus mengganti dengan tayammum.
2. Masyaqqah khafifah, kesulitan ringan yang biasa di alami setiap orang. Misalnya, sedikit pusing, capek ringan, dan lainnya. Masyaqqah semacam ini tidak mendapatkan keringanan/rukhsah.
3. Masyaqqah mutawasithah, yaitu yang berada diantara masyaqqah diatas masyaqqah yang mendekati adzimah maka bisa mendapatkan rukhsah, jika mendekati khafifah maka tidak bisa mendapatkan rukhsah.
 C.  Aplikasi Qaidah
Maksud dari qaidah ini adalah kesulitan yang tidak ditimbulkan oleh tuntutan syar’i (Masyaqqah jenis ke2).
Kesulitan atau kepayahan yang dimaksud syar’i, selalu ada pada 7 hal berikut. Sehingga 7 hal ini pula yang berhak mendapatkan keringan/rukhsah.
Abdurrahman as-Suyuthi dalam al-Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-sebab yang menyebabkan kesulitan yaitu:
a. Karena Safar (Bepergian)

Menurut Imam Nawawi,kesulitan ini menjadikann8 macam keringanan yaitu:boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa. Boleh memakai muza lebih dari sehari semalam, meninggalkan  jum’at, memakan bangkai, shalat jamak, menggunakan kendaraan ternak dan kebolehan bertayamum.


b. Karena Marodi (sakit)
Misalnya kebolehan bertayamum, duduk ketika shalat dan khutbahyang semula di wajibkan berdiri,menjamak dua rakaat, meninggalkanshalat jum’at, berbuka puasa dengan membayar fidya atau memberi makan fakir orang miskin, berobat dengan beda najis, kebolehan melihat auratnya.

c. Karena Ikrah (Terpaksa atau Dipaksa)
Misalnya memakan bangkai atau makanan haram,menggucapkan kekafiran dengan meneguhkan hati.
Ikrahan ghairu mulji, adalah paksaan yang menggunakan cara lebih ringan dari yang telah disebutkan diatas dan hanya mengakibatkan kesedihan dan keprihatinan saja.
Dua jenis paksaan tersebut bisa terjadi pada akad, pengguguran akad dan pada larangan. Akad dan penggugurannya kadangkala sah dengan bercanda. Sementara ada larangan yang dibolehkan dan ada kalanya tetap tidak diperbolehkan.
1. Contoh akad dan penggugurannya tidak sah dengan bercanda adalah akad jual beli, ijarah, gadai, hibah, ikrar dan pembebasan tanggungan. Jika seseorang dipaksa melakukan akad-akad tersebut dengan paksaan ilja (paksaan dengan ancaman) atau dengan paksaan ghairu ilja dan kemudian orang itu melakukannya, maka jika paksaan itu hilang ia berhak memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya.
d. Karena Nisyam (lupa)
Bila seseorang lupa maka ia terbebas dari dosa,misalnya minum waktu puasa ramadhan,lupa mengerjakan shalat lalu ia teringat dan melakukannya di luar waktunya,lupa berbicara dalam shalat padahal belum melakukan salam.

e. Karena JahL (Bodoh)
Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu di haramkan.Termasuk juga tergolong orang yang idiot.

f. Karena Usrun Umumul Balwa (Kesulitan)
Misalnya kebolehan istinja’ dengan batu,kebolehan memakai sutra bagi laki-laki yang sakit,jual beli dengan akad salam,adanya khiyar dalam jual beli dah shalat dengan najis yang sulit di hilangkan.

g. Karena Naqsh (Kekurangan)
Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulanya maka diperingatkan untuk tidak mengikuti jum’at.karena jum’at membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi jum’at itu datang bulan.

7. Bentuk-bentuk Keringanan Dalam Kesulitan
 Syekh Izzudin bin Abdis Salam menyatakan bahwa bentuk - bentuk keringanan  dalam kesulitan itu ada 6 macam, yaitu:


a.       Tahfitul Isqoth,(meringankan dengan menggugurkan)
Misalnya menggugurkan kewajiban shalat jum’at.ibadah haji dan umrah serta jihad ada uzur.

b.      Tahfitul Tanqish (meringankan dengan mengurangi)
Misalnya bolehnya mengqashar shalat dari 4 raka’at menjadi 2 raka’at.

c.       Tahfitul Ibdal (meringankan dengan mengganti)
Misalnya dengan mengganti wudhu dengan tayamum,mengganti berdiri dengan duduk atau berbaring ketika shalat.

d.      Tahfitul Taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya)
Misalnya kebolehan jamak taqdim,yakni shalat ashar dilakukan shalat zuhur,mendahulukan zakat sebelum setahun mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir ramadhan.

e.       Tahfitul Ta’khir  (meringankan dengan mengakhirkan waktu)
Misalnya jamak takhir,yakni shalat zuhur dapat di lakukan pada waktu shalat ashar,mengakhiri puasa ramadhan bagi yang bepergian dan yang sakit.

f.       Tahfatul Tarkhsih (meringankan dengan kemurahan)
Misalnya kebolehan menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.






BAB III
PENUTUPAN

Kesimpulan

Konsep setiap kesulitan membawa kepada kemudahan,  bukanlah suatau kaedah yang umum dala arti berlaku dan dipakai untuk semua masyaqqah. Seperti halnya dengan kaedah-kaedah fiqhiyah lainnya. Ia dipakai dalam beberapa persoalan tertentu. Oleh karena itu masyaqqah yang ada nashnya sebagai sebab keringanan, boleh diamalkan.
Sedangkan yang ada nash syara’ sebagai sebab keringanan, hendaklah dilaksanakan walaupun masyaqqah tidak terwujud secara nyata. Karena masyaqqah itu merupakan suatu hal yang maknawi dan sering berubah-ubah sesuai dengan kondisi individu, waktu dan tempat. Boleh jadi sesuatu itu dianggap masyaqqah bagi seseorang, tetapi bukan masyaqqah bagi yang lain. Seorang pengembara yang terbiasa hidup di padang pasir, tidak merasa ada kesulitan untuk melakukan ibadah puasa tepat pada waktunya, tetapi hal itu tentu akan berbeda dengan yang lainnya.
Dalam banyak hal masyaqqah ditentukan dengan adanya “illat atau sifatnya saja sebagai asas bagi adanya takhfif, tanpa melihat kepada hakekat masyaqqah yang abstrak itu. Perjalanan menjadi sebab adanya takhfif, karena menurut adatnya ada musyaqqah, demikian juga dengan sakit sebagai dasar takhfif, karena menurut kebiasaannya membawa kemudaratan dan kesusahan.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar