Sabtu, 13 April 2013



BAB I
KONSEP ILMU DALAM PERSPEKTIF FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM
1.    Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa arab : ‘alima, ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti : mengerti, memahami benar-benar, seperti ungkapan : علم اصموا عى درس الفلسفة  “ Asmu’i telah memahami pelajaran filsafat “. Dalam bahasa inggris disebut science ; dari bahasa latin scientia (pengetahuan) – scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan bahasa yunani adalah episteme. Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus bahasa indonesia adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang di susun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu[1]. Menurut istilah, Al’ilm mempunyai arti mengetahui hakikat sesuatu (indrak al-syai’ bi haqi qatih), atau mengetahui hakikat sesuatu dengan yakin (indrak al-syai’ bi haqiqatih’an yaqin).
Kata ‘a-l-m dalam Al-Qur’an, dengan bermacam bentuk kata jadian nya disebutkan sebanyak 847 kali. Khusus mengenai kata ‘al-ilm, disebut 80 kali, 35 kali pada surat Makkiyah dan 45 kali pada surat madaniyyah.  Kata kerja ta’lamun yang artinya kamu mengetahui di tujukan untuk kedua orang jama’, terulang sebanyak 56 kali. Ditambah 3 kali dengan redaksi fasata’lamun yang artinya “maka kalian akan mengetahui” 9 kali dengan redaksi ta’lamun yang artinya “kalian mengetahui” 85 kali dengan redaksi ya’lamun yang artinya “mereka mengetahui” dan sekitar 47 kali terulang kata kerja allama beserta kata jadiannya. Kata sifat ‘alim, secara nakirah dan ma’rifah terulang sebanyak 140 kali dan kata ‘ilm secara nakirah dan ma’rifah terulang sebanyak 80 kali. Juga ada beberapa bentuk lainnya yang sering terulang.[2]
Al-Raghib menjelaskan, dilihat dari segi penemuannya al-‘ilm dapat di kelompokkan menjadi dua pengertian yaitu menemukan hakikat sesuatu dalam bentuk esensinya dan dalam bentuk hukum yang terdapat pada wujud sesuatu.[3]
Al-Attas membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu secara dekriptif ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah Swt., bisa di katakan bahwa ilmu itu adalah datangnya ( hushul ) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; Kedua, sebagai sesuatu yang di terima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa di artikan sebagai datangnya jiwa ( wushul ) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang diperoleh secara langsung / tidak langsung baik fisik atau non fisik melalui inderawi atau non inderawi yang bersumber dari Allah dan menhantarkan manusia kepada syahadah terhadap-nya.[4]
2.      Sumber Ilmu Pengetahuan
Wahyu pertama menjelaskan bahwa, ilmu terdiri dari 2 macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia (‘ilm ladunni). Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia (‘ilm kasbi).
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut.
Secara rinci bahwa ada 4 sumber pengetahuan yang berbada menurut tingkat dan kualitas kemampuannya, tetapi pada hakikatnya merupakan satu kesatuan yaitu pengetahuan indrawi,pengetahuan rasio,pengetahuan intuitif serta pengetahuan wahyu:
1.      Pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi bersifat parsial disebabkan oleh adanya perbedaan antara inderawi yang satu dengan yang lainnya,juga berhubungan dengan sifat  khas fisiologis indera dan dengan objek yang dapat ditangkap sesuai dangannya.
 Seperti aliran Empirisme. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Bahwa sumber utama manusia memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca indra.
Namun aliran ini mempunyai banyak kelemahan,antara lain:
a.       Indera terbatas
b.      Indera menipu
c.       Objek yang menipu
d.      Berasal dari objek dan indera sekaligus.

2.      Pengetahuan akal. Dengan akal,manusia mampu memahami konsep-konsep abstrak,baik yang diabstrk dari benda-benda fisik seperti matematik, maupun yang diabstrak dari yang telah abstrak,yakni konsep-konsep metafisik.
Seperti aliran Rasionalisme. Menurut aliran ini, bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan.pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Bagi aliran ini kekeliruan pada aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat dikoreksi,seandainya akal digunakan.
3.      Pengetahuan intuisi. Menurut Henry Beargson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi.  Kemampuan ini mirip dengan insting , tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.pengembangan kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi. Intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[5]
Namun demikian pengetahuan intuisi juga memiliki kelemahan, diantaranya:
-          Pemahaman ini belum tentu benar
-          Pengetahuan ini tidak didapat oleh semua orang

Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam islam disebut Riyadhah. Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat atau Tasawuf. Konon, kemampuan orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat surga, neraka, dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal, melainkan lewat hati.


a.    Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa berusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperoleh-nya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-mausia lainnya. Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena memang hal itu di luar jangkauan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari nabi.
Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isi-nya serta kehidupan di akhirat nanti.[6]
3.      Pandangan Islam Terhadap Ilmu
Pandangan islam terhadap ilmu. Hal ini penting untuk diketahui karena menjadi landasan bagi pengembangan ilmu di sepanjang sejarah kehidupan ummat islam, mulai dari zaman klasik sampai saat ini. Sejak awal kelahirannya, islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad Saw. Ketika di utus oleh Allah sebagai Rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan islam tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan munculnya islam itu sendiri. Ketika Rasulullah Saw. Menerima wahyu pertama, yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca”.jibril memerintahkan Muhammad dengan bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril    tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu menghendaki ummat islam untuk senantiasa “membaca” dengan di landasi bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
Selanjutnya ada ayat lain yang menyatakan, katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Selain ayat-ayat tersebut diatas, ad juga hadits Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu “carilah ilmu walau samapai ke negeri cina” dengan demikian, Al-qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh ummat islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua pokok islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah: pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Al-qur’an. Dan sejauh pemahaman terhadap Alqur’an, terdapat pula penafsiran yang berifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguan untuk pembangunan paradigma ilmu. Kedua, Alqur’an dan hadits menciptakan iklim bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu; pencari ilmu dari segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan Tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alqur’an dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu islam.
4.      Instrumen meraih ilmu pengetahuan
Intrumen disini berfungsi sebagai media yang diberikan oleh Allah, baik secara fisik maupun psikis sebagai tempat berprosesnya ilmu pengetahuan. Intrumen yang dimaksud adalah panca indera, akal, hati dan wahyu.
a.    Panca indera
Secara fitrahnya, manusia dibekali oleh Allah denagn panca indera, yaitu mata,hidung, telinga, lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh manusia melalui indera disebut ilmu inderawi atau disebut empiris. Ilmu indera dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan yang datang dari luar (alam, atau dalam bahasa Iqbal adalah afaq). Jadi, dari persentuhan (penginderaan)inilah kemudian dihasilkan ilmu.
b.      Akal
Di samping panca indera, akal juga merupakan alat yang dimiliki manusia untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang dihasilkan oleh akal ini disebut ilmu ‘aqli, lawannya adalah ilmu naqli. Akal menurut al-Ghazali, diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna dan mulia, sehingga dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi. Berkat akal inilah, semua makhluk tunduk kepada manusia,sekali pun fisiknya lebih kuat dari pada manusia.
c.    Hati (qalb)
Menurut al-Ghazali, qalb di samping sebagai penunjukkan esensi manusia, juga sebagai salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh dengan qalb lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham. Islam tidak hanya berkubang pada Rasiaonalisme dan Empirisme, tetapi juga mengakui instuisi.
d.   Wahyu
Al-Qur’an juag menunjukkan bahwa masih ada cara lain di samping pengamatan dan daya nalar, yakni melalui wahyu dan ilham, akan tetapi cara ini tidaklah semua orang dapat memperolenya melainkan hanya orang-orang plihan Allah semata. Wahyu hanya di anugerahkan kepada Rasul dan Nabi, sedangkan menusia biasa hanya dapat memperoleh ilham, terjadinya ilham didahului oleh ide dan barulah kemudian ide tersebut di ungkapkan dalam kata-kata sebelumnya. Nabi mendengar suara yang jelas tanpa ada ide yang mendahului ataupun bersamaan datangna dengan kata yang diucapkan.
5.      Kriteria ilmu yang berguna
Sejak ini, kita telah mencoba untuk membuktikan bahwa perintah Al-Qur’an dan sunnah mengenai menuntut ilmu tidak lah terbatas pada ajaran-ajaran syari’ah tertentu, akan tetapi juga mencakup setiap ilmu yang berguna bagi manusia.



Oleh karena itu, di bawah ini kita dapat menyimpulkan:
a.       Seluruh ilmu, baik ilmu-ilmu teologi maupun ilmu-ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan selama memerankan peranan ini, maka ilmu itu suci. Akan tetapi, kesucian ini tidak intrinsik. Sebagaiamana Dr. Behesyti mengatakan : “setiap bidang ilmu, selama tidak menjadi alat di tangan thaghut (selain-Allah atau anti-Allah), merupakan alat pencerahan; jika tidak, ilmu bisa juga menjadi alat kesesatan.”
b.      Dalam persfektif ini, aneka ragam pengetahuan tidaklah asing satu sama lain ; karena pada masing-masing jalannya sendiri, ilmu-ilmu itu menafsirkan berbagai lembaran kitab penciptaan kepada kita.








 BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU ZAMAN ISLAM
1.    Perkembangan Ilmu Pada Masa Islam Klasik
Pentingnya ilmu pengetahuan sangat ditekankan oleh islam sejak awal, mulai masa Nabi sampai dengan Khulafa al-Rasyidun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu berjalan denga pesat seiring dengan tantangan zaman. Selanjutnya satu hal yang patut dicatat dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dalam islam adalah peristiwa Fitrah al-Kubra, yangbternyata tidak hanya membawa konsekuensi logis dari segi politis an sich seperti yang dipahami selama ini, tapi teryata juga membawa perubahan besar bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu di dunia islam.pasca terjadinya Fitrah al-Kubra, muncul berbagai golongan yang memilki aliran teologis tersendiri yang pada dasarnya berkembang karena alasan-alasan politis. Pada saat itu muncul alira Syi’ah yang membela Ali, aliran Khawarij, dan kelompok muawiyah. Namun, diluar konflik yang muncul pada saat itu, sejarah mencatat dua orang tokoh besar yang tidak ikut terlibat dalam perdebatan teologis yang cendrung mengkafirkan satu sam lain, tetapi justru mencurahkan perhatiannya pada bidang ilmu agama. Kedua tokoh itu adalah Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas.[7]
Tahap penting berikutnya dalam proses perkembangan dan tradisi keilmuan islam ialah masuknya unsur-unsur dari luar kedalam islam, dan budaya Hellenisme. Yang disebut belakangan mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran islam ibarat pisau bermata dua. Satu sisi ia mendukung Jabariyah, sedangkan disisi lain ia mendukung Qadariyah. Dari adanya pandangan antara keduanya kemudian muncul usaha menengahi dengan meggunakan argumen-argumen Hellenisme, terutama filsafat Aristoteles. Sikap menengahi itu terutama dilakukan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dan Al-Maturidi yang juga mengunakan unsur Hellenisme. Berdasarkan uraian di atas, dapt di tarik sebuah hipotesis sementara bahwa pada awal islam pengaruh Hellenisme dan juga filsafat yunani terhadap tradisi keilmuan islam sudah sedemikian kental, sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itu pun terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa-masa berikutnya.[8]

2.    Perkembangan ilmu pada masa kejayaan islam
Pada masa kejayaan kekuasaan islam, khususnya paa masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dnasti Abbasiyyah ilmu berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh dari luar kekuasaan islam masih berada pada masa kegelapan peradaban (DarkAge).
Dalam sejarah islam, kiat mengenal nama-nama seperti Al-Mansur, Al-Ma’mun, dan Harun Al-Rasid, yang memberikan perhatian teramat besar bagi perkembangan ilmu di dunia islam. Pada masa pemerintahan Al-Mansur, misalnya, proses penerjemahan karya-karya filosof yunani kedalam bahasa arab berjalan dengan pesat. Di kabarkan bahwa Al-Mansur telah memerintahkan penerjemahan naskah-naskah yunani mengenai filsafat dan ilmu, dengan memberikan imbalan yang besar kepada para ahli bahasa (penerjemah). Pada masa Harun Al-Rasyid (786-89) proses penerjemahan itu juga masih teris berlangsung. Harun memerintahkan Yuhanna (yahya) Ibn Musawayh (w. 857), seorang dokter istana, untuk menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Di masa itu juga diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi.
Perkembangan ilmu selanjutnya berada pada masa pemerintahan Al-Ma’mun (813-833). ia adalah seorang pengikut Mu’tazilah dan seoarang rasionalis yang berusaha memaksakan pandangannya kepada rakyat melelui mekanisme Negara. Walaupun begitu, ia telah berjas besar dalam mengembangkan ilmu di dunia islam dengan membangun Bait al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan, sebuah observatorium. Dan sebuah departemen penerjemahan.[9]
Selain tokoh di atas, kita juga mengenal Al-kindi, seorang ilmuan yang lebih sering disebut saintis ketimbang filosof, yang berminat besar dalam bidang matematika dan fisika. Ia bahkan pernah berpendapat bahwa seseorang mungkin dapat menjadi filosof sebelum mempelajari filsafat. Selain adanya perkembangan ilmu yang dapat di kategorikan kedalam bidang eksakta, matematika, fisika, kimia, geometri, dan lain sebagainya, seperti yang telah disinggung secara sepintas si atas, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu keislaman, baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ilmu keislaman lain.
3.    Masa keruntuhan tradisi keilmuan dalm islam
Abad ke-18 dalam sejarah islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi ummat islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban islam secara universal. Begitu dahsyat-nya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan islam yang kemudian menjadikan ummat islam sebagai bangsa yang di jajah oleh bangsa-bangsa barat.runtuhnya bangunan tradisi keilmuan islam secara garis besar dapat di terangkan karena adanya sebab-sebab berikut : diterimanya paham yunani mengenai realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa islam adalah dinamis dan berkembang. Sebab lain yang menyebabkan kehancuran tradisi keilmuan islam adalah persepsi yang keliru dalam memahami pemikiran Al-Ghazali.[10]
IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
1.      Pemahaman terhadap ilmu secara menyeluruh, menunjukkan bahwa ilmu dalam islam mencakup ilmu naqliyah dan ilmu aqliyah.
2.      Kurikulum lembaga pendidikan harus mengajarkan materi agama dan materi umum yang berbasis ketauhidan.
3.      Ilmu yang diajarkan harus bernilai rabbani.
4.      Seorang guru harus bisa mengamalkan ilmu yang telah didapat.
5.      Lingkungan pendidikan harus bernuansa islami.








[1] Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta : PT Raja Graindo), 2008, h. 12
[2] Zainuddin dan Mohd Nasir, Filsafat Pendidikan Islam. (Langsa : Citapustaka), 2010, h. 46.
[3] Ibid, h. 47.
[4] Ibid h. 48.
[5] Ibid, h. 107
[6] Ibid, h. 110
[7] Ibid, h, 38.
[8] Ibid, h. 40.
[9] Ibid, h. 40-41
[10] Ibid, h. 46.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar