BAB I
KONSEP ILMU DALAM PERSPEKTIF
FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM
1.
Pengertian Ilmu
Ilmu berasal dari bahasa arab : ‘alima,
ya’lamu, ‘ilman, dengan wazan fa’ila, yaf’alu, yang berarti :
mengerti, memahami benar-benar, seperti ungkapan : علم اصموا عى درس الفلسفة “ Asmu’i telah memahami pelajaran filsafat “. Dalam bahasa inggris disebut science
; dari bahasa latin scientia
(pengetahuan) – scire (mengetahui). Sinonim yang paling dekat dengan
bahasa yunani adalah episteme. Jadi pengertian ilmu yang terdapat dalam kamus
bahasa indonesia adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang di susun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu[1]. Menurut
istilah, Al’ilm mempunyai arti mengetahui hakikat sesuatu (indrak
al-syai’ bi haqi qatih), atau mengetahui hakikat sesuatu dengan yakin (indrak
al-syai’ bi haqiqatih’an yaqin).
Kata ‘a-l-m dalam Al-Qur’an, dengan bermacam
bentuk kata jadian nya disebutkan sebanyak 847 kali. Khusus mengenai kata ‘al-ilm,
disebut 80 kali, 35 kali pada surat Makkiyah dan 45 kali pada surat
madaniyyah. Kata kerja ta’lamun
yang artinya kamu mengetahui di tujukan untuk kedua orang jama’, terulang
sebanyak 56 kali. Ditambah 3 kali dengan redaksi fasata’lamun yang
artinya “maka kalian akan mengetahui” 9 kali dengan redaksi ta’lamun yang
artinya “kalian mengetahui” 85 kali dengan redaksi ya’lamun
yang artinya “mereka mengetahui” dan sekitar 47 kali terulang kata kerja allama
beserta kata jadiannya. Kata sifat ‘alim, secara nakirah dan ma’rifah
terulang sebanyak 140 kali dan kata ‘ilm secara nakirah dan ma’rifah
terulang sebanyak 80 kali. Juga ada beberapa bentuk lainnya yang sering
terulang.[2]
Al-Raghib menjelaskan, dilihat dari segi
penemuannya al-‘ilm dapat di kelompokkan menjadi dua pengertian yaitu
menemukan hakikat sesuatu dalam bentuk esensinya dan dalam bentuk hukum yang
terdapat pada wujud sesuatu.[3]
Al-Attas membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu
secara dekriptif ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang
berasal dari Allah Swt., bisa di katakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (
hushul ) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; Kedua,
sebagai sesuatu yang di terima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa di
artikan sebagai datangnya jiwa ( wushul ) pada makna sesuatu atau objek
ilmu.
Dengan demikian dapat di katakan
bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu yang diperoleh secara
langsung / tidak langsung baik fisik atau non fisik melalui inderawi atau non
inderawi yang bersumber dari Allah dan menhantarkan manusia kepada syahadah
terhadap-nya.[4]
2.
Sumber Ilmu
Pengetahuan
Wahyu pertama menjelaskan bahwa, ilmu terdiri dari
2 macam. Pertama, ilmu yang diperoleh tanpa upaya manusia (‘ilm ladunni).
Kedua, ilmu yang diperoleh karena usaha manusia (‘ilm kasbi).
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan.
Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan
didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh
pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada
kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber
pengetahuan tersebut.
Secara rinci bahwa ada 4 sumber pengetahuan yang
berbada menurut tingkat dan kualitas kemampuannya, tetapi pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan yaitu pengetahuan indrawi,pengetahuan rasio,pengetahuan
intuitif serta pengetahuan wahyu:
1.
Pengetahuan inderawi.
Pengetahuan inderawi bersifat parsial disebabkan oleh adanya perbedaan antara
inderawi yang satu dengan yang lainnya,juga berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan dengan objek yang
dapat ditangkap sesuai dangannya.
Seperti aliran Empirisme. Menurut aliran ini
manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Bahwa sumber utama
manusia memperoleh pengetahuan adalah data empiris yang diperoleh dari panca
indra.
Namun aliran ini mempunyai banyak
kelemahan,antara lain:
a.
Indera terbatas
b.
Indera menipu
c.
Objek yang menipu
d.
Berasal dari objek dan
indera sekaligus.
2.
Pengetahuan akal.
Dengan akal,manusia mampu memahami konsep-konsep abstrak,baik yang diabstrk
dari benda-benda fisik seperti matematik, maupun yang diabstrak dari yang telah
abstrak,yakni konsep-konsep metafisik.
Seperti aliran Rasionalisme.
Menurut aliran ini, bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan.pengetahuan
yang benar diperoleh dan diukur dengan akal.
Bagi aliran ini kekeliruan pada
aliran empirisme yang disebabkan kelemahan alat indera dapat
dikoreksi,seandainya akal digunakan.
3.
Pengetahuan intuisi.
Menurut Henry Beargson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang
tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan
insting , tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.pengembangan kemampuan
ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah
suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan yang nisbi.
Intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika.[5]
Namun demikian pengetahuan
intuisi juga memiliki kelemahan, diantaranya:
-
Pemahaman ini belum
tentu benar
-
Pengetahuan ini tidak
didapat oleh semua orang
Kemampuan menerima pengetahuan
secara langsung itu diperoleh dengan cara latihan, yang dalam islam disebut Riyadhah.
Metode ini secara umum dipakai dalam Thariqat atau Tasawuf. Konon, kemampuan
orang-orang itu sampai bisa melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan, melihat
surga, neraka, dan alam ghaib lainnya. Dari kemampuan ini dapat dipahami bahwa
mereka tentu mempunyai pengetahuan tingkat tinggi yang banyak sekali dan
meyakinkan pengetahuan itu diperoleh bukan lewat indera dan bukan lewat akal,
melainkan lewat hati.
a.
Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh
Allah kepada manusia lewat perantaraan para nabi. Para nabi memperoleh
pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa berusah payah, tanpa memerlukan waktu
untuk memperoleh-nya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semesta.
Tuhan mensucikan jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan
para nabi. Hal inilah yang membedakan mereka dengan manusia-mausia lainnya.
Akal meyakinkan bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena
pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya,
karena memang hal itu di luar jangkauan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan
lain kecuali menerima dan membenarkan semua yang berasal dari nabi.
Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik
mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang
mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan
manusia, dunia, dan segenap isi-nya serta kehidupan di akhirat nanti.[6]
3.
Pandangan Islam
Terhadap Ilmu
Pandangan islam terhadap ilmu. Hal ini penting
untuk diketahui karena menjadi landasan bagi pengembangan ilmu di sepanjang
sejarah kehidupan ummat islam, mulai dari zaman klasik sampai saat ini. Sejak
awal kelahirannya, islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada
ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad Saw. Ketika di utus oleh
Allah sebagai Rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian islam
datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah
menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan islam
tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan munculnya islam itu sendiri.
Ketika Rasulullah Saw. Menerima wahyu pertama, yang mula-mula diperintahkan
kepadanya adalah “membaca”.jibril memerintahkan Muhammad dengan bacalah dengan
nama Tuhanmu yang menciptakan. Perintah ini tidak hanya sekali
diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat
menerima wahyu tersebut. Dari kata Iqra inilah kemudian lahir aneka
makna seperti menyampaikan, menela’ah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu menghendaki ummat islam untuk senantiasa “membaca” dengan di
landasi bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat
bermanfaat untuk kemanusiaan.
Selanjutnya ada ayat lain yang menyatakan, katakanlah:
apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat
menerima pelajaran. Selain ayat-ayat tersebut diatas, ad juga hadits
Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya
kalau perlu “carilah ilmu walau samapai ke negeri cina” dengan demikian,
Al-qur’an dan hadits kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan
oleh ummat islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua pokok
islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu.
Peran itu adalah: pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum
muslimin terdapat dalam Al-qur’an. Dan sejauh pemahaman terhadap Alqur’an,
terdapat pula penafsiran yang berifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang
memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi
juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguan untuk pembangunan
paradigma ilmu. Kedua, Alqur’an dan hadits menciptakan iklim bagi
pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu;
pencari ilmu dari segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan Tauhid.
Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alqur’an
dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu islam.
4.
Instrumen meraih ilmu
pengetahuan
Intrumen disini berfungsi sebagai media yang
diberikan oleh Allah, baik secara fisik maupun psikis sebagai tempat
berprosesnya ilmu pengetahuan. Intrumen yang dimaksud adalah panca indera,
akal, hati dan wahyu.
a.
Panca indera
Secara fitrahnya, manusia dibekali
oleh Allah denagn panca indera, yaitu mata,hidung, telinga, lidah dan kulit.
Ilmu yang diperoleh manusia melalui indera disebut ilmu inderawi atau disebut
empiris. Ilmu indera dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia
dengan rangsangan yang datang dari luar (alam, atau dalam bahasa Iqbal adalah afaq).
Jadi, dari persentuhan (penginderaan)inilah kemudian dihasilkan ilmu.
b.
Akal
Di samping panca indera, akal juga merupakan alat
yang dimiliki manusia untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang dihasilkan oleh akal ini
disebut ilmu ‘aqli, lawannya adalah ilmu naqli. Akal menurut
al-Ghazali, diciptakan oleh Allah dalam keadaan sempurna dan mulia, sehingga
dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi. Berkat akal inilah, semua
makhluk tunduk kepada manusia,sekali pun fisiknya lebih kuat dari pada manusia.
c.
Hati (qalb)
Menurut al-Ghazali, qalb
di samping sebagai penunjukkan esensi manusia, juga sebagai salah satu alat
dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh
dengan qalb lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui
perolehan ilham. Islam tidak hanya berkubang pada Rasiaonalisme dan Empirisme,
tetapi juga mengakui instuisi.
d.
Wahyu
Al-Qur’an juag menunjukkan bahwa masih ada cara
lain di samping pengamatan dan daya nalar, yakni melalui wahyu dan ilham, akan
tetapi cara ini tidaklah semua orang dapat memperolenya melainkan hanya
orang-orang plihan Allah semata. Wahyu hanya di anugerahkan kepada Rasul dan
Nabi, sedangkan menusia biasa hanya dapat memperoleh ilham, terjadinya ilham
didahului oleh ide dan barulah kemudian ide tersebut di ungkapkan dalam
kata-kata sebelumnya. Nabi mendengar suara yang jelas tanpa ada ide yang
mendahului ataupun bersamaan datangna dengan kata yang diucapkan.
5.
Kriteria ilmu yang
berguna
Sejak ini, kita telah mencoba untuk membuktikan
bahwa perintah Al-Qur’an dan sunnah mengenai menuntut ilmu tidak lah terbatas
pada ajaran-ajaran syari’ah tertentu, akan tetapi juga mencakup setiap ilmu
yang berguna bagi manusia.
Oleh karena itu, di bawah ini kita dapat
menyimpulkan:
a.
Seluruh ilmu, baik
ilmu-ilmu teologi maupun ilmu-ilmu kealaman merupakan alat untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan selama memerankan peranan ini, maka ilmu itu suci. Akan
tetapi, kesucian ini tidak intrinsik. Sebagaiamana Dr. Behesyti mengatakan :
“setiap bidang ilmu, selama tidak menjadi alat di tangan thaghut
(selain-Allah atau anti-Allah), merupakan alat pencerahan; jika tidak, ilmu
bisa juga menjadi alat kesesatan.”
b.
Dalam persfektif ini,
aneka ragam pengetahuan tidaklah asing satu sama lain ; karena pada
masing-masing jalannya sendiri, ilmu-ilmu itu menafsirkan berbagai lembaran
kitab penciptaan kepada kita.
BAB II
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU ZAMAN
ISLAM
1.
Perkembangan Ilmu Pada
Masa Islam Klasik
Pentingnya ilmu pengetahuan
sangat ditekankan oleh islam sejak awal, mulai masa Nabi sampai dengan Khulafa
al-Rasyidun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu berjalan denga pesat seiring dengan
tantangan zaman. Selanjutnya satu hal yang patut dicatat dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu dalam islam adalah peristiwa Fitrah al-Kubra, yangbternyata
tidak hanya membawa konsekuensi logis dari segi politis an sich
seperti yang dipahami selama ini, tapi teryata juga membawa perubahan besar
bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu di dunia islam.pasca terjadinya Fitrah
al-Kubra, muncul berbagai golongan yang memilki aliran teologis tersendiri
yang pada dasarnya berkembang karena alasan-alasan politis. Pada saat itu
muncul alira Syi’ah yang membela Ali, aliran Khawarij, dan kelompok muawiyah.
Namun, diluar konflik yang muncul pada saat itu, sejarah mencatat dua orang
tokoh besar yang tidak ikut terlibat dalam perdebatan teologis yang cendrung
mengkafirkan satu sam lain, tetapi justru mencurahkan perhatiannya pada bidang
ilmu agama. Kedua tokoh itu adalah Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas.[7]
Tahap penting berikutnya dalam
proses perkembangan dan tradisi keilmuan islam ialah masuknya unsur-unsur dari
luar kedalam islam, dan budaya Hellenisme. Yang disebut belakangan mempunyai
pengaruh besar terhadap pemikiran islam ibarat pisau bermata dua. Satu sisi ia
mendukung Jabariyah, sedangkan disisi lain ia mendukung Qadariyah. Dari adanya
pandangan antara keduanya kemudian muncul usaha menengahi dengan meggunakan
argumen-argumen Hellenisme, terutama filsafat Aristoteles. Sikap menengahi itu
terutama dilakukan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, dan Al-Maturidi yang
juga mengunakan unsur Hellenisme. Berdasarkan uraian di atas, dapt di tarik
sebuah hipotesis sementara bahwa pada awal islam pengaruh Hellenisme dan juga
filsafat yunani terhadap tradisi keilmuan islam sudah sedemikian kental,
sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itu pun terus mewarnai perkembangan
ilmu pada masa-masa berikutnya.[8]
2.
Perkembangan ilmu pada masa kejayaan islam
Pada masa kejayaan kekuasaan islam, khususnya paa
masa pemerintahan dinasti Umayyah dan dnasti Abbasiyyah ilmu
berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa islam pada masa
keemasannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh dari luar
kekuasaan islam masih berada pada masa kegelapan peradaban (DarkAge).
Dalam sejarah islam, kiat mengenal nama-nama seperti Al-Mansur,
Al-Ma’mun, dan Harun Al-Rasid, yang memberikan perhatian teramat
besar bagi perkembangan ilmu di dunia islam. Pada masa pemerintahan Al-Mansur,
misalnya, proses penerjemahan karya-karya filosof yunani kedalam bahasa arab berjalan
dengan pesat. Di kabarkan bahwa Al-Mansur telah memerintahkan penerjemahan
naskah-naskah yunani mengenai filsafat dan ilmu, dengan memberikan imbalan yang
besar kepada para ahli bahasa (penerjemah). Pada masa Harun Al-Rasyid
(786-89) proses penerjemahan itu juga masih teris berlangsung. Harun
memerintahkan Yuhanna (yahya) Ibn Musawayh (w. 857), seorang dokter
istana, untuk menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Di masa itu
juga diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi.
Perkembangan ilmu selanjutnya berada pada masa pemerintahan Al-Ma’mun
(813-833). ia adalah seorang pengikut Mu’tazilah dan seoarang rasionalis yang
berusaha memaksakan pandangannya kepada rakyat melelui mekanisme Negara.
Walaupun begitu, ia telah berjas besar dalam mengembangkan ilmu di dunia islam
dengan membangun Bait al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan,
sebuah observatorium. Dan sebuah departemen penerjemahan.[9]
Selain tokoh di atas, kita juga mengenal Al-kindi, seorang ilmuan yang
lebih sering disebut saintis ketimbang filosof, yang berminat besar dalam
bidang matematika dan fisika. Ia bahkan pernah berpendapat bahwa seseorang
mungkin dapat menjadi filosof sebelum mempelajari filsafat. Selain adanya
perkembangan ilmu yang dapat di kategorikan kedalam bidang eksakta, matematika,
fisika, kimia, geometri, dan lain sebagainya, seperti yang telah disinggung
secara sepintas si atas, sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu keislaman,
baik dalam bidang tafsir, hadis, fiqih, ushul fiqih, dan disiplin ilmu keislaman
lain.
3. Masa keruntuhan tradisi keilmuan dalm islam
Abad ke-18 dalam sejarah islam adalah abad yang paling menyedihkan bagi
ummat islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban islam secara universal.
Begitu dahsyat-nya proses kejatuhan peradaban dan tradisi keilmuan islam yang
kemudian menjadikan ummat islam sebagai bangsa yang di jajah oleh bangsa-bangsa
barat.runtuhnya bangunan tradisi keilmuan islam secara garis besar dapat di
terangkan karena adanya sebab-sebab berikut : diterimanya paham yunani mengenai
realitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa islam adalah
dinamis dan berkembang. Sebab lain yang menyebabkan kehancuran tradisi keilmuan
islam adalah persepsi yang keliru dalam memahami pemikiran Al-Ghazali.[10]
IMPLIKASI TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
1.
Pemahaman terhadap
ilmu secara menyeluruh, menunjukkan bahwa ilmu dalam islam mencakup ilmu naqliyah
dan ilmu aqliyah.
2.
Kurikulum lembaga
pendidikan harus mengajarkan materi agama dan materi umum yang berbasis
ketauhidan.
3.
Ilmu yang diajarkan
harus bernilai rabbani.
4.
Seorang guru harus
bisa mengamalkan ilmu yang telah didapat.
5.
Lingkungan pendidikan
harus bernuansa islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar